AYAH, BUNDA, inilah jalan kita
Dia Dahulu Semasa Di Buaian Hingga
Masa Bersepeda Roda Empat
Dibuai oleh ibu dan ayah
berganti-gantian. Ibu adalah wanita penyabar yang rendah hati dan tak banyak
mengeluh. Ayah pun mencari nafkah tanpa banyak bicara tentang lelahnya bekerja
seharian. Ibu dan ayah begitu sayang padanya.
Dia belum bisa berjalan , baru
belajar berdiri. Berulangkali melangkah, sebanyak itu pula ia terkantuk. Akan
tetapi tangan ayah selalu mengawasi dan siap menahannya agar tak terjerembab ke
lantai. Jangan sampai ada luka, walau sekedar segores lecet.
Ibu tahu kesusahannya karena hidung
yang tak mampu bernapas lega. Dia sedang pilek. Ibu tak tahan melihatnya
kesakitan, maka ibu pun menyedot ingus dari kedua lubang hidung itu dengan
mulut ibu. Betapa sayang ibu padanya.
Kala hari libur tiba, ibu
menyempatkan waktu mengajarinya menjaga keseimbangan bersepeda roda empat (dua
ban di depan dan di belakang, dua ban di samping kiri dan kanan sebagai
pembantu keseimbangan). Sungguh senang dia bisa mengayuh di jalan yang luas. “Aku
bisa bersepeda!” tak berapa lama, akhirnya dia bisa mengendarai sepeda,
cukup dengan dua roda. Alhamdulillah”
“Yang Penting Kamu Sudah Berusaha,
Nak”
Hari penerimaan rapor tiba. Dia tak
bisa menjadi rangking pertama di kelas. Sungguh muram mimiknya. Akan tetapi,
ibu tak luput menghiburnya, “Tidak perlu sedih. Yang penting kamu sudah
berusaha,Nak! Kembali cerialah dunia!! Dia tak perlu bersedih. Ada ibu yang
senantiasa membesarkan jiwanya, mengajarkannya menegakkan kepala menghadapi
dunia, tak perlu melulu sedih tersungkur kala gagal namun segera bangkit dan
kembali menatap kedepan dengan berbinar penuh semangat dan tawakal pada Allah.
“Jangan perah takut selama engkau berada dalam kebenaran”. Dia
senantiasa ingat pesan yang dalam itu.
Di Negeri Seberang Aku Membelah
Angin Dan Terik Matahari.
“Dia” yang dulu, kini telah menjadi
“Aku”. “Aku sekarang sudah dewasa, Ibu! Aku sekarang sudah
dewasa, Ayah!
Di negeri seberang aku belah angin
dan terik matahari. Aku berjalan sembari menerjang hantaman air hujan.
Bukankah, Aku tak boleh menjadi penakut? Alhamdulillah, tanganku sempurna
berjumlah dua, kakiku sempurna tegap melangkah. Aku tak boleh jadi penakut
bukan? Selalu ada Allah yang akan menolongku dengan rahmatNya, selagi aku
mengesakanNya dan bertakwa padaNya. Aku memegang prinsip itu.
Ibu dan ayah , aku kini berada di
dunia baru yang lebih terang. Dunia yang menaungi para orang shalih pendahulu
kita (as-salafush shalih). Aku bahagia dengan dunia ini : Al Qur’an dan
Assunnah dengan pemahaman para as-salafush shalih. Bahagia yang dalam,
bukan hanya sebatas senang yang sesaat. Aku temukan Islam yang kucari. Inilah
dia pegangan hidupku!
Aku berbagi cerita ini sambil menangis…
Kubayangkan kenikmatan abadi yang
akan kuperoleh jika aku bisa bertahan dalam kesabaran dan keyakinan akan janji
Allah. Pastinya akan banyak ujian yang harus kulalui, seiring semakin besar
pengakuan cintaku pada jalan ini, karena Allah.
Betapa aku berharap Allah senantiasa
mengaruniaku hidayah untuk senantiasa mengingatNya dan berdoa hanya kepadaNya.
Tak lupa pula kudoakan ibu dan ayah. Semoga Allah senantiasa menyayangi serta
menjaga kita dan keluarga kita, di dunia dan akhirat. Di dunia, yaitu di saat
bumi dan penghuninya sedemikian carut-marut ini. Di akhirat, yaitu di saat tak
ada lagi pertolongan dan keselamatan selaindari Allah Rabb semesta alam.
Aku Akan Ceritakan Diriku Yang
Sekarang
Ibu, Ayah, aku akan bercerita
sedikit saja tentang diri anakmu ini sekarang.
Sewaktu kecil, ayah rajin
mengantarkanku belajar membaca Al-Qur’an pada seorang ustadzah tiap hari kamis.
Tahukah ibu dan ayah, kini aku bukan hanya sekedar belajar membaca Al-Qur’an.
Hari-hariku penuh dengan haru biru bersama al-Qur’an dan hadits-hadits nabi shalallahu’alaihi
wassalam. Sungguh jarang aku merasa sedih karena dunia. Adapun jika sedih
itu dating, pastilah karena maksiat dan dosa yang telah kuperbuat. Ibu dan
ayah, sungguh ini adalah jejak-jejak panjang yang kudapat, kelanjutan
pijakan-pijakan kecil yang dulu ibu dan ayah membantuku untuk menderapnya.
Tahukah ibu dan ayah, sekarang aku
sudah pandai membaca deretan-deretan huruf arab dari kitab-kitab para ulama,
yang tak bertorehkan harokat? Ini adalah buah kesabaran ibu dan ayah
mengajariku membaca dan menulis semenjak kecil. Berbahagialah atas karunia
Allah ini, wahai ibu dan ayah yang kusayangi karena Allah…
Aku pun tak luput memperbaiki ibadah
dan akhlakku. Itulah yang menjadi kesibukan saat ini. Aku juga tak luput
mengurusi duniaku, untuk menjaga harga diriku. Cukuplah aku bekerja keras
dengan kedua tanganku, agar tak menengadah memelas wajahku meminta belas kasih
orang lain. Ibu dan ayah, inilah sekuntuk kebahagiaan yang begitu ingin
kuceritakan selama ini pada kalian berdua.
Adapun Komentar Mereka, Maka Jangan
Terlalu Diambil Hati
Banyak orang yang berbisik pada ibu
dan ayah bahwa anaknya di negeri seberang entah menjatuhkan dirinya ke lubang
sekelam apa sekarang. Ibu dan ayah berjuang melawan itu semua dan meyakinkan
diri mereka sendiri “Anakku tak seperti sangkaan orang. Dia adalah anak yang
bisa dipercaya”.
Aku menangis bukan karena takut pada
tatapan aneh pada manusia, atau perkataan mereka yang mengiris bagai sembilu.
Aku menangis melihat wajah murung ibu berhari-hari. Tak lain dan tak bukan,
karena telah memikirkan aku yang telah berubah.
Ibuku sayang…
Anakmu ini mohon maaf jika akan
jujur berbicara. Sungguh akan kupilih kata yang paling indah agar kemurunganmu
berubah menjadi merah cerianya fajar di garis cakrawala.
Aku Bangga Dengan Jalan Yang Kupilih
Ini
Ibu dan ayah, jalanku ini bukan
jalan baru yang sesat. Inilah jalan yang dahulu Berjaya, tetapi kini terasing.
Kemuliaan akan kita peroleh, dengan ijin Allah, jika kita teguh di atas jalan
ini.
Akan kuceritakan sedikit dari
warisan Rasulullah shalallahu’alaihi wassalam yang kujumpai sepanjang
jalan ini :
-
Manusia diperintahkan untuk mengesakan Allah dalam tiga perkara : 1. Rububiyah,
2. Uluhiyah, dan 3. nama-nama dan sifat-sifat Allah
-
Kita diperintahkan untuk berpegang teguh pada Alqir’an dan as-sunnah dengan
pemahaman para sahabat Nabi shalallahu’alaihi wassalam. Bukan
berdasarkan pemahaman setiap orang [karena jika tolak ukur kebenaran adalah
pendapat pribadi, maka pendapat siapakah yang akan kita jadikan sebagai tolak
ukur??]
-
Kita diperintahkan untuk bertakwa kepada Allah, sebagaimana pula kita
diperintahkan untuk memperbaiki akhlak kita, baik kepada khaliq (Allah)
maupun makhlukNya
-
Kita diperintahkan untuk berbuat baik kepada orang tua dan karib kerabat,
menyambung tali silaturrahim dengan mereka, berbuat baik dan tidak mengganggu
tetangga , serta memuliakan tamu.
-
Kita senantiasa diingatkan tentang siksa neraka jika timbangan keburukan kita nanti
lebih berat dibandingkan timbangan kebaikan kita.
Dengan bekal sebanyak itu ,
bagaimana boleh aku gegabah dan semena-mena pada ibu dan ayah. Dalam
menjelaskan sikap yang kupilih ini pun demikian. Sayang dan sabarku karena
Allah, jadi penyanggaku untuk mengajak ibu dan ayah meniti jalan keselamatan
bersamaku.
Biarkan Dunia Yang Menyampaikannya
Ibu dan ayah, surat ini mungkin
tidak akan pernah benar-benar sampai ke hadapan kalian. Tidak diantarkan burung
merpati, tidak pula diterbangkan angin.
Surat ini kutitipkan pada dunia.
Biarlah mereka yang akan menyampaikan tanda cinta karena Allah ini kepada ibu
dan ayah.
Semoga Allah melindungi jiwa-jiwa
kita dari kebinasaan, di saat manusia menceburkan sendiri dirinya ke dalam
malapetaka.
Semoga Allah memberikan naungan
kepada kita, di hari yang tak ada naungan disana selain naunganNya.
Semoga Allah mengumpulkan aku, ibu,
ayah, dan orang-orang yang kita cintai karena Allah, di Firdaus al-a’laa, bersama
para nabi, shiddiqiin, syuhadaa’, dan shalihiin.
Laa hawla wa laa quwwata illaa
billa.
Aamiin, yaa mujibas saa’ilii .. (bm)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar